1. Gustrispa N. Sirait ( 11 – 035
)
2. Fera ( 11 – 037 )
3. Dina Maharani Trg ( 11 – 055 )
4. Fania Hutagalung ( 11 – 081 )
5. Rossie Janette G. G ( 11 – 087
)
6. Dinarti Utari ( 11 - 093 )
7. Chindy ( 11 – 097 )
8. Fonds Novel ( 11 – 105 )
9. Dhara Puspita Hrp ( 11 – 113 )
10. Shellani Raudoh ( 11 – 115 )
Pendidikan bagi Tunarungu
Anak
tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran atau kehilangan pendengaran
yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indra
pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen sehingga dibutuhkan suatu layanan pendidikan
khusus. Klasifikasi
tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1.
Gangguan pendengaran sangat ringan ( 27 – 40 dB )
2.
Gangguan pendengaran ringan ( 41 – 55 dB )
3.
Gangguan pendengaran sedang ( 56 – 70 dB )
4.
Gangguan pendengaran berat ( 71 – 90 dB )
5.
Gangguan pendengaran ekstrem/tuli ( di atas 91 dB )
Berhubung karena memiliki hambatan dalam pendengaran, individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari
telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa
berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan
komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal,
bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam
memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
Sebagaimana anak lainnya yang
mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya
secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan
pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan
pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan
integrasi / terpadu.
1.
Sistem
segregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan
pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu
melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau
kelas kunjung.
2.
Sistem
pendidikan integrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di
sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam
berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984)
mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa
dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus
Strategi pembelajaran bagi anak
tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam
pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya,
harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan
siswa tunarungu.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu :
1. Pendekatan Auditori Verbal : mengajarkan
seorang anak untuk menggunakan pendengaran disediakan oleh alat bantu dengar
atau implan koklea untuk memahami berbicara dan belajar untuk berbicara. Anak
diajarkan untuk mengembangkan pendengaran sebagai akal aktif.
2. Pendekatan Auditori Oral : pengajaran
dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik
(mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan
tahapan fonologik ( mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan
kalimat ).
Yang perlu diperhatikan oleh pendidik dalam memberikan
pembelajaran pada anak tunarungu :
a.
Tidak berbicara membelakangi anak
b.
Anak hendaknya duduk atau berada di bagian paling depan kelas
c.
Bila hanya sebagaian telinganya yang tuna rungu, tempatkan anak
sehingga telinga yang masih berfungsi dengan baik, dekat dengan guru
d.
Perhatikan postur anak
e.
Dorong anak selalu memperhatikan wajah guru
f.
Berbicara dengan volume biasa, tetapi gerakan bibirnya harus
jelas
Anak
tunarungu yang bersekolah di sekolah umum tidak selalu lebih baik kualitas
hidupnya dari pada anak yang bersekolah di SLB, karena banyak anak-anak jebolan
SLB yang berhasil menjadi seorang profesional bekerja secara formal, begitu
juga sebaliknya.. Jadi, sekolah umum atau SLB bukan hal yang perlu
dipermasalahkan asal pilihan orang tua sesuai dengan kemampuan anak. Dan tugas
sebagai orang tua untuk terus membimbing, menemukan bakat serta potensi agar
anak siap di kehidupan yang akan datang.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar